Hari
yang Muram
Pagi
itu, langit bermuram durja. Sepertinya ia segera akan mengguyurkan hujan.
Seorang gadis berusia enam belas tahun duduk termenung di ambang pintu. Ia
sudah siap dengan seragam sekolah dan perlengkapan sekolah lainnya. Setengah
jam sudah ia tak juga beranjak dari sana.
Sepuluh
menit kemudian hujan pun reda. “Huh, telat aku berangkat. Kalau pak Darman
sudah masuk kelas, bisa mati berdiri aku”, gumam Rina dalam hati. Ibunya segera
menghampirinya, “Rina, Ibu tidak mempunyai uang hari ini”. Mata gadis itu
terbelalak bagai disambar petir. “Apa Bu? Maksud Ibu, hari ini Rina tidak dapat
uang jajan?” uacap Rina mengeluh. Ibunya hanya diam saja, tanpa ada
mengeluarkan sepatah kata pun.
Dengan
hati jengkel Rina pun berangakat sekolah
tanpa mencium tangan Ibunya terlebih dahulu. Ibu itu hanya menatap nanar
kepada anaknya yang tengah mengayuh
sepeda dengan cepat. Di tengah perjalanan, Rina mengomel sendiri karena
kesalnya pada Ibunya. Padahal tak seharusnya ia begitu. Seharusnya ia maklum
pada Ibunya yang hanya seorang penjual kue keliling itu. “Makan apa nanti aku
di sekolah? Semua teman-temanku pasti asyik berbelanja nanti” ucap Rina dalam
hati.
Lima
belas menit kemudian, Rina tiba di sekolah. Ia berlari-lari bagai maling
dikepung massa, karena orang-orang tidak ada lagi yang berada di luar kelas. “Hah…?
Ataga, gawat, ini gawat. Benar apa yang kuduga, pak Darman sudah masuk kelas”,
ucap Rina dengan nada cemas. Gadis itu memberanikan diri untuk masuk kelas.
“Asslamuailaikum… boleh saya masuk Pak? Tanya Rina kepada guru Matematika itu.
“Mengapa kamu terlambat Rina? Kamu tahu sekarang pukul berapa? Tanya pak Darman
tegas.
Rina
gugup, ia takut dihukum pak Darman. Dengan suara yang tergagap-gagap, ia
menjawab pertanyaan gurunya itu, bahwa ia disuruh Ibunya untuk menunggu hujan
reda dulu baru berangkat sekolah. “Baiklah, saya terima alasan kamu. Silakan
duduk”. Ucap pak Darman.
“Teng
teng teng teng teng….”, bel berbunyi, yang menandakan waktu istirahat telah
tiba. Semua siswa riuh meninggalkan kelas, sedangkan Rina diam di tempat. “Rin,
ayo kita keluar! Aku sudah lapar nih”,
sapa Sinta, sahabatnya. “Aku mau di sini saja” jawab Rina singkat. “Kenapa Rin? Kok kamu terlihat kurang bersemangat
hari ini?” Tanya sahabatnya. Akan tetapi
jawaban yang dinanti-nanti Sinta tak kunjung tiba juga. Rina malu untuk menceritakan
semuanya kepada sahabatnya sendiri.
***
Sore
harinya, di perjalanan, waktu Rina pulang dari sekolah, ia marah-marah sendiri
karena masih jengkel pada Ibunya. “Huh, dasar orang tua. Kenapa ia selalu
membuatku marah dan jenngkel? Kenapa? Gumam Rina dengan ketus. Di persimpangan,
Rina terkejut karena di depan matanya ada orang yang mengendarai motor
sembarangan. “Aaa…” teriak Rina. Terjadilah apa yang akan terjadi. Rina
ditabrak lelaki ingusan yang main balap-balapan motor.
Rina
diantar oleh orang yang menyaksikan kejadian itu. Kaki kanannya patah. Sang Ibu
pun terkejut setengah mati melihat kondisi putri tunggalnya. Dengan perasaan
cemas, Ibu itu segera menyambut kedatangan anaknya. “Rina anakku, apa yang
telah terjadi Nak? Ucap Ibu itu dengan nada sedih. Rina hanya bisa menjawab
dengan isak dan tangisnya.
Sementara
dokter mengobatinya, ia teringat masa kecilnya. Perjuangan Ibunya untuk
menghidupinya, yang selalu menyayanginya dengan sepenuh hati. Yang setiap hari
berkeliling dari desa ke desa, menjual kue demi memenuhi kebutuhannya.
Kini,
Rina hanya meneteskan air mata. Ia menyesali perbuatannya terhadap Ibunya.
“Ibu, maafkan Rina. Selama ini Rina sering marah-marah pada Ibu, selama ini
Rina selalu menyakiti hati Ibu. Semua ini terjadi karena kesalahan Rina, karena
dosa Rina pada Ibu”, ucap Rina sambil terisak-isak. “Rina anakku, Ibu sudah
memaafkanmu jauh sebelum kamu memintanya”, jawab Ibu itu sambil meneteskan air
mata dan merangkul putrinya. Ibunya sangat terharu karena anaknya telah sadar
akan perbuatanya yang jelek itu.
Rina
berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. “Ini
adalah pelajaran bagi diriku sendiri. Astagfirullah…Ampuni aku ya Allah”, ucap
Rina dengan nada penyesalan.
No comments:
Post a Comment