widgetku

Showing posts with label Tentang Bahasa. Show all posts
Showing posts with label Tentang Bahasa. Show all posts

Friday, May 17, 2013

Pragmatik: Presuposisi dan Entailmen


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
         Makna sebuah tuturan tidak hanya dapat ditentukan dengan faktor-faktor lingual yang membentuk tuturan itu, tetapi juga dapat ditentukan dengan faktor-faktor nonlingual. Penentuan makna sebuah tuturan berdasarkan faktor lingual dapat dikaji dari bentuk-bentuk lingual yang membentuknya. Namun, penentuan makna sebuah tuturan berdasarkan faktor nonlingual biasa sangat bervariasi tergantung pada situasi tutur yang melandasinya.
         Pragmatik merupakan salah satu objeknya, pragmatik mengkaji maksud dari penutur (speaker meaning). Pragmatik menelaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir atau dengan kata lain pragmatik merupakan studi tentang hubungan antara tanda dan penafsirnya. Charles Morris (dalam Mey, 1993: 35) menjelaskan bahwa pragmatik dan semantik berurusan dengan makna, tetapi perbedaannya terletak pada perbedaan penggunaan verb to mean. Lazimnya semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic), what does X mean?, sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic), what did you mean by X ?
         Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa, sedangkan dalam semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan mitra tuturnya. Lebih lanjut Leech (1993 : 8) mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situation).
         Banyak ahli seperti Levinson (1983 : 9) dan Bambang Kaswanti Purwo (1990 : 17) mengatakan bahwa lingkup objek kajian pragmatik mencakup deiksis, presuposisi, tindak tutur, implikatur percakapan, dan struktur percakapan. Makalah ini tidak akan membicarakan lingkup pragmatik secara keseluruhan tetapi pada presuposisi atau praanggapan dan entailmen.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan presuposisi?
2.      Apa saja tipe-tipe presuposisi?
3.      Apa yang dimaksud persoalan proyeksi?
4.      Apa yang dimaksud dengan entailmen?

1.3  Tujuan Penulisan
           Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan presuposisi.
2.      Untuk mengetahui tipe-tipe presuposisi.
3.      Untuk mengetahui tentang persoalan proyeksi.
4.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud entailmen.

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Menambah pengetahuan kita tentang  presuposisi
2.      Kita menjadi tahu apa saja tipe-tipe prsuposisi.
3.      Kita menjadi tahu tentang persoalan proyeksi.
4.      Kita menjadi tahu tentang entailmen.




                                                            BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Presuposisi
Presuposisi atau sering juga disebut praanggapan. Sebuah tuturan dapat dikatakan mempresuposisikan atau mempraanggapkan tuturan lainnya, apabila ketidakbenaran tuturan yang dipraanggapkan itu mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan tidak dapat dikatakan sama sekali.
Contoh : Mahasiswi terpandai dikelas itu cantik sekali.
Contoh di atas mempraanggapkan atau mempresuposisikan adanya seorang mahasiswi yang benar-benar pandai  di kelas tertantu. Apabila pada kenyataannya memang ada mahasiswi yang sangat pandai di kelas itu maka tuturan di atas dapat dinilai benar atau salahnya. Sebaliknya, apabila di kelas itu tidak ada sama sekali mahasiswi yang sangat pandai, tuturan tersebut tidak dapat ditentukan benar atau salahnya sama sekali.
Perhatikan pula contoh berikut:
Novel Habibie dan Ainun sangat laris di toko-toko buku di seluruh Indonesia.
Kalimat di atas mempresuposisikan bahwa memang ada novel yang berjudul itu di toko-toko buku diseluruh Indonesia. Jika memang demikian adanya maka kebenaran preposisi yang dipraanggapkan atau dipresuposisikan tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Sebaliknya jika tidak ada novel tersebut kebenaran presuposisi yang dipraanggapkan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Contoh lain dari presuposisi atau praanggapan juga terlihat dari contoh di bawah ini:
            Kalau kamu sudah sampai Banjarmasin, tolong aku diberi kabar. Jangan sampai lupa! Aku tidak bukan hari libur.
 Contoh di atas tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu sang mitra tutur bahwa dia harus melakukan sesuatu yang dimaksudkan dalam tuturan tersebut, melainkan lebih dari itu, terdapat suatu hal yang tersirat dan harus dilakukan. Misalnya saja,  tindakan mencari nomor telepon dari si penutur.
2.2  Tipe-Tipe Presuposisi
Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur (Yule, 2006:46). Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan,  yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.
  1. Presuposisi Esistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.
·         Orang itu berjalan.
Ada orang berjalan.
 2.   Presuposisi Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
1.      Dia tidak menyadari bahwa ia sakit.
Dia sakit.

2.      Kami menyesal mengatakan kepadanya.
Kami mengatakan kepadanya.

3.   Presuposisi Leksikal
Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.
1.      Dia berhenti merokok.
Dulu dia biasa merokok.

2.      Mereka mulai mengeluh.
Sebelumnya mereka tidak mengeluh.
4.    Presuposisi Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.
1.      Saya membayangkan bahwa saya kaya.
Saya tidak kaya.

2.      Saya membayangkan berada di Hawai.
Saya tidak berada di Hawai.
5.   Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.
1.      Di mana Anda membeli sepeda itu?
Anda membeli sepeda.


2.      Kapan dia pergi?
Dia pergi.
6.    Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.
·         Seandainya
·         Andaikan

2.3  Persoalan Proyeksi
Makna beberapa presuposisi (sebagai bagian-bagian) tidak dapat bertahan terus menjadi makna beberapa kalimat kompleks (secara keseluruhan) disebut persoalan proyeksi. Contohnya:
a.      Tak seorang pun sadar Lili lapar. (= p)
b.      Lili lapar. (= q)
c.       p>>q (pada poin ini, penutur yang mengujarkan [a] mempresuposisikan [b].
d.      Saya membayangkan bahwa Lili lapar. (= r)
e.       Lili tidak lapar. (bukan q)
f.       r>>bukan q
(pada poin ini, penutur yang mengujarkan [d] mempresuposisikan [e], kebalikan dari [b].
g.      Saya membayangkan bahwa Lili lapar dan tak seorang pun menyadari bahwa dia lapar. (= r&p)
h.      r&p>>bukan q
(pada poin ini, setelah penggabungan r&p, presuposisi q tidak lagi dianggap benar).

2.4 Entailmen
Entailmen dalam hubungan antara tuturan dengan maksudnya bersifat mutlak atau menjadi keharusan. Tuturan yang berbunyi Eli hamil muda, mengindikasikan bahwa wanita yang bernama Eli sudah pernah berhubungan sebadan dengan seorang pria tertentu sehingga dia sekarang dalam keadaan hamil muda. Tuturan yang berbunyi ian anak desa yang sangat rajin itu menjadi dokter, menunjukkan bahwa anak yang berasal dari desa itu pernah mengenyam pendidikan di universitas tertentu pada sebuah Fakultas Kedokteran. Dengan demikian, jelas bahwa hubungan antara tuturan dan maksud tuturan pada entailment bersifat mutlak dan harus ada. Jadi tuturan seperti si Emilia seorang janda kembang di desaku, menunjukkan dengan sesungguhnya, dan dengan tidak dapat disangka-sangka lagi, sosok wanita yang bernama Emilia sudah pernah menjadi seorang istri, karena sekarang berstatus janda, dan karena sebab yang sangat tertentu status keistriaannya itu hilang dan yang melekat pada dirinya sekarang adalah status kejandaan. Kenyataan seperti itulah yang didalam ilmu bahasa pragmatik disebut dengan entailment, atau banyak orang sering menerjemahkannya secara kasar dan cenderung kurang tepat sebagai sosok ikutan.










BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
·         Sebuah tuturan dapat dikatakan mempresuposisikan atau mempra-anggapkan tuturan lainnya, apabila ketidakbenaran tuturan yang dipraanggapkan itu mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tutu-ran tidak dapat dikatakan sama sekali.
·         Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis pra-anggapan,  yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.
·         Makna beberapa presuposisi (sebagai bagian-bagian) tidak dapat bertahan terus menjadi makna beberapa kalimat kompleks (secara keseluruhan) disebut persoalan proyeksi
·         Entailment dalam hubungan antara tuturan dengan maksudnya bersifat mutlak atau menjadi keharusan.
3.2 Saran
Kepada para pembaca disarankan agar lebih banyak membaca buku yang berkaitan dengan presuposisi dan entailmen agar lebih memahami tentang pragmatik.









DAFTAR PUSTAKA
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Penerbit Dioma.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi.  2010. Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis.  Surakarta: Yuma Pustaka.
Yule, George. 1998. Pragmatik. Terjemahan Jumadi. 2006. Banjarmasin: PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
Yule, George. 1996.Pragmatik. Terjemahan Indah Fajar Wahyuni. 2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semantik Bahasa Indonesia: Relasi Makna


RELASI MAKNA

1.      Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syin yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Misalnya, kursi dan bangku, cangkir dan gelas, arloji dan jam tangan, acuh dan peduli, dekil dan kumal/kotor, damai dan aman/tenteram, jujur dan lurus hati/tulus, jahe dan halia, kapok dan jera, kemarau dan kering/panas, kualitas dan mutu/kadar, layak dan pantas/wajar, gelisah dan resah, dampak dan akibat/pengaruh, elok dan bagus/cantik, guna dan manfaat, lebar dan luas, hening dan sunyi/sepi, jaya dan berhasil/sukses, abadi dan kekal, dan lain-lain.
Hubungan makna antar dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi, jika kursi bersinonim dengan bangku maka kata bangku juga bersinonim dengan kata kursi. Kesamaan dua buah kata yang bersinonim tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak (Zgusta, 1971: 89; Ullman, 1972: 141).
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain, karena:
1)     faktor waktu. Misalnya kata dian dan pelita, oto dan mobil, tesmak dan kacamata, labas dan habis.
2)     faktor tempat dan daerah. Misalnya, unda dan saya, nyawa dan  kamu. Kata unda dan nyawa hanya cocok digunakan di daerah Kalimantan atau masyarakat Banjar, sedangkan kata saya dan kamu dapat digunakan secara umum di seluruh Indonesia.
3)     faktor sosial. Misalnya dia dan beliau. Kata beliau digunakan untuk orang yang lebih tua atau yang dihormati, sedangkan kata dia biasanya digunakan untuk orang yang sebaya atau yang lebih muda.
4)     faktor bidang kegiatan. Misalnya, mendaftar, mencatat, mendata, mengindek, dan menginventarisasi.
5)     faktor nuansa makna. Misalnya, mendengar dan menyimak, menyaksikan dan menonton.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai sinonim.
1)     Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim, misalnya meja, lantai, papan tulis, tas, dan kipas angin.
2)     Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar, tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya, datang dan tiba.
3)     Ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar, tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata sandung yang tidak memiliki sinonim pada bentuk dasar, tetapi pada bentuk jadian memiliki sinonim, yakni kata tersandung yang bersinonim dengan terantuk. Contoh lain adalah kata tunjuk yang tidak memiliki sinonim pada bentuk dasar, tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian, yakni kata menunjukkan yang bersinonim dengan memperlihatkan/menandakan/menyatakan.
4)     Ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya putih, dalam arti sebenarnya tidak memiliki persamaan, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim, yaitu suci atau tidak bernoda. Contoh lain merah yang dalam arti “kiasan” adalah marah atau berang.
2.      Antonimi
Kata antonomi berasal dari kata Yunani Kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka, secara harfiah antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat  pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya, miskin dan kaya, pelit dan dermawan, gelisah dan tenteram, gigih dan malas, gesit dan lambat, ceroboh dan cermat/teliti, padat dan renggang/jarang,keruh dan jernih, licik dan jujur, musibah dan anugerah, datang dan pergi, sebab dan akibat, fiksi dan fakta, denotasi dan konotasi, dan lain-lain.
Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Antonim terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia, untuk morfem (terikat) mungkin tidak ada. Antonim, sama halnya dengan sinonim, tidak bersifat mutlak. Artinya, antonim bukan mutlak berlawanan, tetapi hanya dianggap berlawanan.
Sehubungan dengan ini, banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja.
a)     Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak merupakan pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata menang dan kalah, siang dan malam.
b)     Oposisi Kutub
Oposisi kutub merupakan pertentangan makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut. Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti besar dan kecil, dalam dan dangkal, manis dan pahit, panas dan dingin, layu dan segar, mahal dan murah, tebal dan tipis, dan sebagainya.
c)     Oposisi Hubungan
Makna kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya, Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja dan kata benda, seperti kata laki-laki dan perempuan, timur dan barat, bos dan karyawan, kanan dan kiri, depan dan belakang, pertanyaan dan jawaban, mencari dan menemukan, guru dan peserta didik, penjual dan pembeli, dokter dan pasien, adik dan kakak, penuduh dan tertuduh, pendakwa dan terdakwa, dan sebagainya.
d)     Oposisi Hierarkial
Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan. Oleh karena itu, kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya, kata gram dan kilogram, mililiter dan liter, tahun dan abad, wakil dan ketua, puluhan dan ratusan.
e)     Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk merupakan kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata. Misalnya, keluarga yang berantonim degan teman, sahabat, kenalan, musuh. Contoh lain adalah bekerja yang berantonim dengan istirahat, cuti, menganggur, dan tidur. Tidak setiap kata bahasa Indonesia memiliki antonim atau oposisi.

3.      Polisemi
Polisemi adalah sebuah kata atau satuan ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu.
Umpamanya kata tangan kanan yang setidaknya mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia, (2) orang kepercayaan.
Contoh kalimatnya:
1.      Tangan kanan Rina terluka terkena pecahan kaca.
2.      Perusahaan ayah bangkrut karena kelalaian tangan kanannya.
Contoh lain adalah kata mata yang setidaknya memiliki makna (1) indra untuk melihat, (2) sesuatu yang menyerupai mata, seperti lubang kecil pada jarum dan jala, (3) bagian yang tajam pada alat pemotong, (4) tempat tumbuhnya tunas, seperti mata dahan dan mata ubi, (5) yang terpenting atau pokok, seperti mata pencaharian.

4.      Homonimi
Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang berbentuk “ kebetulan” sama, maknanya tentu saja berbeda karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Dengan kata lain, homonimi adalah ungkapan yang bentuknya sama dengan ungkapan lain, tetapi maknanya berbeda. Sama halnya dengan sinonim dan antonim, relasi antara  dua buah suatu ujaran yang homonimi juga berlaku dua arah. Contoh homonimi adalah kata hak pada Hak Asasi Manusia dan hak pada hak sepatu. Contoh lain adalah basi yang berarti ‘makanan yang mulai busuk’ dan basi yang berarti ‘wadah yang terbuat dari tanah liat dan bentuknya seperti buah semangka’. Selain itu ada kata tegun yang berarti ‘berhenti sebentar’ dan tegun yang berarti ‘kuat dan tegar’.
Ada dua istilah yang biasa dibicarakan dalam homonimi, yaitu homofoni dan homografi. Homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah berbeda. Sebagai contoh adalah kata masa yang berarti ‘waktu’ dan massa  yang berarti ‘orang banyak’.
Istilah homografi bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Contohnya adalah kata apel yang berarti ‘buah’ dan apel yang berarti ‘upacara’. Contoh lain adalah kata sepak yang berarti ‘tiruan bunyi tamparan atau tempelengan’ dan sepak yang berarti ‘gerakan memukul sesuatu dengan kaki atau tendang’. Selain itu, ada kata serak yang berarti ‘parau’ dan serak yang berarti ‘tersebar di mana-mana’.

5.      Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Umpamanya antara kata mawar dan kata bunga. Di sini kita lihat makna kata mawar adalah bunga, tapi bunga bukan hanya mawar tapi bisa juga melati, teratai, kemboja, anggrek, dan kaca piring.


Oval:
 
1.      Mawar
2.      Flowchart: Connector: 3Flowchart: Connector: 1Flowchart: Connector: 2Melati
3.      Teratai
4.      Flowchart: Connector: 5Flowchart: Connector: 6Flowchart: Connector: 4Kemboja
5.      Anggrek
6.      Kaca Piring
                  
  Bagan 1. Konsep bunga yang berisi nama-nama bunga
Relasi hiponimi bersifat searah, bukan dua arah, sebab kalau mawar berhiponim dengan bunga, maka bunga bukan berhiponim dengan mawar, melainkan berhipernim. Artinya, kalau mawar adalah hiponim dari bunga, maka bunga adalah hipernim dari mawar. Hubungan antara mawar, melati, teratai, kemboja, anggrek, dan kaca piring disebut kohiponim dari bunga.
6.      Ambiguiti atau Ketaksaan
      Ambiguti atau ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti sebagaimana polisemi yang juga bermakna ganda. Perbedaannya adalah kegandaan pada polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan pada ambiguiti berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat. Misalnya, kucing makan tikus mati, maknanya mungkin (1) kucing memakan tikus yang telah mati, (2) kucing makan saat tikus mati. Contoh lain adalah adik Siska yang cantik yang maknanya mungkin (1) yang cantik adalah adiknya, atau bisa juga (2) yang cantik adalah Siska.