RELASI
MAKNA
1. Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi
berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma
yang berarti ‘nama’, dan syin yang
berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi
berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik, Verhaar
(1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat)
yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Misalnya, kursi dan bangku, cangkir dan gelas, arloji dan jam tangan, acuh dan peduli, dekil dan kumal/kotor, damai dan aman/tenteram, jujur dan lurus hati/tulus, jahe dan halia, kapok dan jera, kemarau dan kering/panas,
kualitas dan mutu/kadar, layak dan
pantas/wajar, gelisah dan resah, dampak dan akibat/pengaruh, elok dan bagus/cantik,
guna dan manfaat, lebar dan luas, hening dan sunyi/sepi, jaya dan berhasil/sukses,
abadi dan kekal, dan lain-lain.
Hubungan makna antar dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah.
Jadi, jika kursi bersinonim dengan bangku maka kata bangku juga bersinonim dengan kata kursi. Kesamaan dua buah kata yang bersinonim tidak seratus
persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak (Zgusta,
1971: 89; Ullman, 1972: 141).
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ketidakmungkinan kita untuk menukar
sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara
lain, karena:
1)
faktor waktu. Misalnya kata dian dan
pelita, oto dan mobil, tesmak dan kacamata, labas dan habis.
2)
faktor tempat dan daerah. Misalnya, unda
dan saya, nyawa dan kamu.
Kata unda dan nyawa hanya cocok digunakan di daerah
Kalimantan atau masyarakat Banjar, sedangkan kata saya dan kamu dapat
digunakan secara umum di seluruh Indonesia.
3)
faktor sosial. Misalnya dia dan beliau. Kata beliau digunakan untuk orang yang lebih tua atau yang dihormati, sedangkan
kata dia biasanya digunakan untuk
orang yang sebaya atau yang lebih muda.
4)
faktor bidang kegiatan. Misalnya, mendaftar,
mencatat, mendata, mengindek, dan menginventarisasi.
5)
faktor nuansa makna. Misalnya, mendengar
dan menyimak, menyaksikan dan menonton.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai sinonim.
1)
Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim, misalnya meja, lantai, papan tulis, tas, dan kipas angin.
2)
Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar, tetapi tidak pada bentuk
jadian. Misalnya, datang dan tiba.
3)
Ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar, tetapi
memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata sandung yang tidak memiliki sinonim pada bentuk dasar, tetapi pada
bentuk jadian memiliki sinonim, yakni kata tersandung
yang bersinonim dengan terantuk. Contoh
lain adalah kata tunjuk yang tidak
memiliki sinonim pada bentuk dasar, tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian,
yakni kata menunjukkan yang
bersinonim dengan memperlihatkan/menandakan/menyatakan.
4)
Ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi
dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya putih, dalam arti sebenarnya tidak memiliki persamaan, tetapi
dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim, yaitu suci atau tidak bernoda.
Contoh lain merah yang dalam arti
“kiasan” adalah marah atau berang.
2.
Antonimi
Kata antonomi berasal dari kata
Yunani Kuno, yaitu onoma yang artinya
‘nama’, dan anti yang artinya
‘melawan’. Maka, secara harfiah antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain
pula’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan
(biasanya berupa kata, tetapi dapat pula
dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna
ungkapan lain. Misalnya, miskin dan kaya, pelit dan dermawan, gelisah dan
tenteram, gigih dan malas, gesit dan lambat, ceroboh dan cermat/teliti,
padat dan renggang/jarang,keruh dan
jernih, licik dan jujur, musibah dan anugerah, datang dan pergi,
sebab dan akibat, fiksi dan fakta, denotasi dan konotasi, dan lain-lain.
Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah.
Antonim terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem, tataran kata,
tataran frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia, untuk morfem
(terikat) mungkin tidak ada. Antonim, sama halnya dengan sinonim, tidak
bersifat mutlak. Artinya, antonim bukan mutlak berlawanan, tetapi hanya
dianggap berlawanan.
Sehubungan dengan ini, banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi,
maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada
yang hanya bersifat kontras saja.
a) Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak merupakan pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya
antara kata menang dan kalah, siang dan malam.
b) Oposisi Kutub
Oposisi kutub merupakan pertentangan makna yang tidak bersifat mutlak,
tetapi bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata
tersebut. Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari
kelas adjektif, seperti besar dan kecil, dalam dan dangkal, manis dan
pahit, panas dan dingin, layu dan segar, mahal
dan murah, tebal dan tipis, dan sebagainya.
c) Oposisi Hubungan
Makna kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini
bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata
yang lain yang menjadi oposisinya, Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini
tidak ada. Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja dan
kata benda, seperti kata laki-laki dan
perempuan, timur dan barat, bos dan karyawan, kanan dan kiri,
depan dan belakang, pertanyaan dan
jawaban, mencari dan menemukan, guru dan peserta didik, penjual dan pembeli,
dokter dan pasien, adik dan kakak, penuduh dan tertuduh, pendakwa dan terdakwa, dan sebagainya.
d) Oposisi Hierarkial
Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret
jenjang atau tingkatan. Oleh karena itu, kata-kata yang berupa nama satuan
ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama
jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya, kata gram dan kilogram, mililiter dan liter, tahun dan abad, wakil dan ketua, puluhan dan ratusan.
e) Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk merupakan kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari
sebuah kata. Misalnya, keluarga yang
berantonim degan teman, sahabat, kenalan,
musuh. Contoh lain adalah bekerja yang
berantonim dengan istirahat, cuti,
menganggur, dan tidur. Tidak
setiap kata bahasa Indonesia memiliki antonim atau oposisi.
3.
Polisemi
Polisemi adalah
sebuah kata atau satuan ujaran yang mempunyai
makna lebih dari satu.
Umpamanya kata tangan kanan yang setidaknya mempunyai makna (1) bagian tubuh
manusia, (2) orang kepercayaan.
Contoh kalimatnya:
1. Tangan
kanan Rina terluka terkena
pecahan kaca.
2. Perusahaan
ayah bangkrut karena kelalaian tangan kanannya.
Contoh lain
adalah kata mata yang setidaknya
memiliki makna (1) indra untuk melihat, (2) sesuatu yang menyerupai mata,
seperti lubang kecil pada jarum dan jala, (3) bagian yang tajam pada alat
pemotong, (4) tempat tumbuhnya tunas, seperti mata dahan dan mata ubi, (5) yang
terpenting atau pokok, seperti mata pencaharian.
4.
Homonimi
Homonimi adalah
dua buah kata atau satuan ujaran yang berbentuk “ kebetulan” sama, maknanya
tentu saja berbeda karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Dengan kata lain, homonimi adalah ungkapan yang
bentuknya sama dengan ungkapan lain, tetapi maknanya berbeda. Sama
halnya dengan sinonim dan
antonim, relasi antara dua buah suatu
ujaran yang homonimi juga berlaku dua arah. Contoh
homonimi adalah kata hak pada Hak Asasi Manusia dan hak pada hak sepatu. Contoh lain adalah basi
yang berarti ‘makanan yang mulai busuk’ dan basi yang berarti ‘wadah yang terbuat dari tanah liat dan bentuknya
seperti buah semangka’. Selain itu ada kata tegun
yang berarti ‘berhenti sebentar’ dan tegun
yang berarti ‘kuat dan tegar’.
Ada
dua istilah yang biasa dibicarakan
dalam homonimi, yaitu homofoni dan homografi. Homofoni adalah adanya
kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya,
apakah ejaannya sama ataukah berbeda.
Sebagai contoh adalah kata masa yang
berarti ‘waktu’ dan massa yang
berarti ‘orang banyak’.
Istilah homografi
bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak
sama. Contohnya adalah kata apel yang berarti ‘buah’ dan apel
yang berarti ‘upacara’. Contoh lain adalah kata sepak yang berarti ‘tiruan bunyi tamparan atau tempelengan’ dan sepak yang berarti ‘gerakan memukul
sesuatu dengan kaki atau tendang’. Selain itu, ada kata serak yang berarti ‘parau’ dan serak
yang berarti ‘tersebar di mana-mana’.
5.
Hiponimi
Hiponimi adalah
hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam
makna bentuk ujaran yang lain. Umpamanya antara kata mawar dan kata bunga. Di
sini kita lihat makna kata mawar
adalah bunga, tapi bunga bukan hanya mawar tapi bisa juga melati,
teratai, kemboja,
anggrek,
dan
kaca piring.
![]() |
1.
Mawar
2.


Melati



3.
Teratai
4.


Kemboja



5.
Anggrek
6.
Kaca Piring
Bagan 1. Konsep bunga yang
berisi nama-nama bunga
Relasi
hiponimi bersifat searah, bukan dua arah, sebab kalau mawar berhiponim dengan bunga,
maka bunga bukan berhiponim dengan mawar, melainkan berhipernim. Artinya, kalau mawar adalah hiponim dari bunga, maka bunga adalah hipernim dari mawar. Hubungan antara mawar,
melati, teratai, kemboja, anggrek, dan kaca piring disebut kohiponim dari
bunga.
6. Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguti atau
ketaksaan diartikan sebagai kata yang
bermakna ganda atau mendua arti sebagaimana polisemi yang juga bermakna ganda.
Perbedaannya adalah kegandaan pada polisemi berasal dari kata, sedangkan
kegandaan pada ambiguiti berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu
frase atau kalimat. Misalnya, kucing makan tikus mati,
maknanya mungkin (1) kucing
memakan tikus yang telah
mati, (2) kucing makan saat
tikus mati. Contoh lain adalah adik Siska yang cantik yang maknanya
mungkin (1) yang cantik adalah adiknya, atau bisa juga (2) yang cantik adalah
Siska.
No comments:
Post a Comment