widgetku

Showing posts with label Tentang Sastra. Show all posts
Showing posts with label Tentang Sastra. Show all posts

Friday, May 17, 2013

Semiotik dan Fungsinya


SEMIOTIK DAN KEGUNAANNYA

1.      Sejarah Semiotik
Sejarah semiotik telah bermula sejak zaman Yunani, yaitu pada zaman Plato dan Aristoteles. Kedua tokoh tersebut telah memulai sebuah teori bahasa dan makna. Namun tidak lama selepas era tersebut, teori ini dirasakan tidak wajar, lalu kegunaan dan keunggulannya mulai memudar. Pada era modern ilmu ini muncul kembali, dengan tokoh-tokoh sebagai berikut:
CHARLES SANDERS PIERCE
Peirce mengemukakan teori segitiga makna yang terdiri atas tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Baginya, tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri atas Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.      


FERDINAND DE SAUSSURE
Menurut Saussure, tanda terdiri atas bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.”

2.      Pengertian Semiotik
Dari segi istilah, semiotik berasal dari kata Yunani Kuno “semion” yang berarti ‘tanda’ atau “sign” dalam bahasa Inggris. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi dan ekspresi. Di dalam penelitian sastra, pendekatan semiotik khusus meneliti sastra yang dipandang memiliki sistem tersendiri, sedangkan sistem itu berurusan dengan masalah teknik, mekanisme penciptaan, masalah ekspresi, dan komunikasi. Kajian sastra harus dikaitkan dengan masalah ekspresi dan manusianya, bahasa, situasi, simbol, gaya, dan sebagainya.
Semiotika atau semiologi berarti ilmu tanda-tanda (sign) secara sistematik. Semiotik menunjukkan bidang kajian khusus, yaitu sistem yang secara umum dipandang sebagai tanda, seperti puisi, rambu-rambu lalu lintas, dan nyanyian burung.

3.      Jenis-Jenis Semiotik
Menurut Pateda (Sobur 2001:100-101) ada sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang ini, yaitu:
1.      Semiotik analitik, yaitu semiotik yang menganalisis sistem tanda.
2.      Semiotik deskriptif, yaitu semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang.
3.      Semiotik faunal/zoosemiotik, yaitu semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.
4.      Semiotik kultural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu.
5.      Semiotik naratif, yaitu semiotik yang menelaah sistem tanda narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).
6.      Semiotik natural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.
7.      Semiotik normatif, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh tanda yang dibuat manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
8.      Semiotik sosial, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik berwujud kata ataupun kalimat.
9.      Semiotik struktural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yakni:
1.      Tanda, dalam hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkan dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah perbuatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya.
2.      Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.
3.      Kebudayaan dimana kode dan lambang itu beroperasi (Fiske, 1990:40 dalam Alex Sobur 2001:94).
Tanda, kode atau sistem dan kebudayaan tidak akan bisa dan mudah dipahami tanpa merujuk pada objek-objek yang dijadikan tanda, kode atau sistem dan dalam kebudayaan yang sama. Walaupun ada kebudayaan universal dengan nilai-nilai, tanda-tanda, dan kode-kode atau sistem universal, maka objek-objek yang dijadikan rujukannya haruslah bersifat universal pula. Sebagai contoh adalah bendera. Setiap negara di dunia pasti mempunyai bendera yang terbuat dari selembar kain. Orang tidak akan bisa dan mudah mengerti ini bendera Indonesia, bendera Amerika, tanpa menunjuk pada rujukan yang disebutkan. Orang menyebut bendera Indonesia sambil mengangkat atau menunjukkan bendera Indonesia dengan warna merah di atas dan warna putih di bawah. Bila orang menyebutkan bendera Indonesia sambil mengangkat atau menunjukkan bukan bendera Indonesia, melainkan bendera Amerika (rujukan salah) dan persepsi bendera dengan banyak bintangnya itu bendera Indonesia. Maka suatu saat orang itu menyebut bendera Indonesia dengan mengangkat atau menunjuk bendera Amerika akan dinyatakan salah, karena yang dimaksud bendera adalah warna merah di atas dan putih di bawah, bukan bendera yang ada bintannya. Maka rujukan menjadi sangat penting dalam studi semiotika.
4.      Fungsi Semiotik
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektivitas dan efesiensi. Jadi, pemanfaatan sistem tanda secara benar mempermudah aktivitas kehidupan.


Sastra Bandingan Nusantara


SASTRA BANDINGAN NUSANTARA

Sastra, sebagai bagian dari kebudayaan, ditentukan antara lain oleh geografi dan sumber daya alam. Berdasarkan kedua hal itulah kita menyususn masyarakat dan menentukan tata lain. Dalam karya sastra semua hal tersebut dicatat dan ditanggapi secara kreatif. Berbagai dongeng yang diciptakan nenek moyang kita, yang sampai kini masih ada sisanya dalam kenangan kita, perlu dibanding-bandingkan agar kita mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai persamaan dan perbedaan antara kita.
Dalam sebuah makalah, A. Ikram (1990) menawarkan studi perbandingan yang didasarkan pada sastra-sastra yang berkembang di Nusantara. Ia membuat pengelompokkan masalah berdasarkan konsep-konsep yang telah ditawarkan oleh Clement (1978), yaitu: (a) genre dan bentuk, (b) periode, aliran, dan pengaruh, serta (c) tema dan mitos.
Beberapa genre yang berkembang di Indonesia bisa kita jumpai di mana-mana. Namun, terutama karena adanya berbagai jenis pengaruh, tradisi sastra kita memiliki kekayaan genre yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa. Seperti: genre wiracarita dalam bentuk syair, kidung, kakawin, hikayat, berbagai jenis teater rakyat, dan pelipur lara.
Sastra bandingan menggarisbawahi pentingnya penggunaan bahasa asli, karenanya seorang yang melalakukan studi perbandingan antara kakaawin dan hikayat harus menguasai dua bahasa sebaik-baiknya. Kakawin ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, sedangkan hikayat dalam bahasa Melayu. Ini bisa dipermudah dengan menggunakan terjemahan, tetapi harus diingat bahwa hanya terjemahan yang teliti dan setia kepada aslinyalah yang bisa dipergunakan sebagai bahan bandingan.
Menurut Ikram (1990: 8), genre yang juga digemari di Indonesia adalah sastra didaktik. Ia mengatakan bahwa sifat didaktik ini memang sulit dihindari dalam sastra tradisional karena oleh masyarakat masih dianggap sebagai intipati segala sastra dan kita temukan dalam berbagai bentuk. Syair, hikayat, cerita berbingkai, kidung, sastra tanya-jawab, cerita binatang; semua digunakan sebagai wahana untuk membawa nasihat. Bentuk untuk menyampaikan sastra didaktik tentu tidak harus menggunakan binatang sebagai tokohnya dan juga tidak harus berupa prosa. Salah satu karya sastra didaktik penting yang ditulis dalam bahasa Melayu adalah Gurindan 12 karya Raja Ali Haji.
Sastra sejarah juga merupakan genre yang ada di mana-mana. Kebudayaan Melayu telah menghasilkan Sejarah Melayu, kitab yang diaanggap begitu penting oleh sementara orang Melayu sehingga dianggap sebagai catatan sejarah yang otentik dan karenanya sering dilupakan sisi fiksinya. Kebudayaan Jawa telah menghasilkan juga sejumlah besar babad  yang oleh sementara orang Jawa juga dianggap sebagai sejarah. Sastra sejarah dihasilkan oleh semua masyarakat yang pernah memiliki kerajaan sebab salah satu fungsinya adalah untuk mencatat apa yang telah dilakukan suatu dinasti dalam menciptakan kerajaan yang dipimpinnya.
Genre lain yang selalu ada dalam semua kebudayaan adalah mantra, yang di Indonesia dimiliki oleh semua suku bangsa. Mantra adalah genre tradisi lisan yang bisa dipergunakan sebagai wahana untuk mencapai berbagai jenis maksud dan tujuan. Setiap masyarakat menciptakan mantra untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam sastra bandingan, mantra merupakan sumber penelitian yang sangat subur sebab genre itu kedapatan di manapun dan kapanpun, tidak hanya di Indonesia dan tidak hanya dalam tradisi lisan.
Bentuk lain yang juga menarik untuk dibandingkan adalah pantun. Di Jawa, pantun disebut parikan. Kalau di kebudayaan Melayu, pantun bisa dipergunakan sebagai bentuk sastra yang “resmi” dalam berbagai kegiatan sosial. Di Jawa, parikan umumnya dikenal sebagai bentuk untuk menyampaikan hal-hal yang lebih cenderung ke hiburan dan bukan dakwah. Dalam tradisi pantun Melayu, kita mengenal pantun agama, pantun adat, pantun orang tua yang khusus dipergunakan sebagai saran untuk mendidik masyarakat. Parikan di Jawa antara lain dipergunakan dalam teater tradisional, seperti ludruk, umumnya mengandung ungkapan ringan yang berfungsi sebagai hiburan.
Penelitian mengenai genre bisa bertumpang tindih dengan penelitian mengenai pengaruh yang dalam artinya yang luas mencakup juga perubahan bentuk, saduran, dan terjemahan. Ikram menunjukkan bahwa cerita Amir Hamzah dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab telah mengalami perubahan bentuk yang sangat jauh dalam sastra-satra Bugis, Sasak, Melayu, dan Jawa.
Studi mengenai tema dan mitos bisa erat sekali katannya. Contoh penting yang harus disebut adalah kisah yang berdasarkan konsep Kompleks Oedipus. Kisah yang mengungkapkan hubungan asmara antara ibu dan anak itu mencul dalam banyak kebudayaan, di Indonesia kita bisa menemuinya dalam kisah Sangkuriang di Sunda dan kisah Prabu Watugunung di Jawa. Kesusastraan kita telah mengolahnya menjadi suatu hasil budaya yang sama sekali berbeda dengan yang didapati di dalam kesusastraan Yunani.