Pentingnya Metakognisi dalam Membaca Komprehensif
Teks berbagai Bidang Studi
Pendahuluan
Peningkatan kualitas sumber daya
manusia tidak bisa dilepaskan dari kegiatan membaca. Kegiatan membaca dapat
dipandang sebagai kegiatan dasar untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan manusia agar dapat mencapai kemajuan hidup. Membaca adalah sebuah
kegiatan sine quo non dalam seluruh proses pendidikan. Segala bidang
baik yang berkaitan dengan ilmu maupun budaya tidak akan dapat dikaji dan
diperoleh tanpa kegiatan membaca.
Paradigma tentang hakikat dan tujuan
pembelajaran membaca lebih menekankan pada kemampuan memahami teks bacaan.
Pemahaman terhadap teks bacaan tersebut tentunya memiliki standar yang dapat
dijadikan tolok ukur apakah pembaca benar-benar telah memahami dan menguasai
kandungan teks bacaan (content area) atau belum. Pembelajaran membaca
yang termasuk dalam pembelajaran bahasa menjadi satu hal yang pokok dan tidak
bisa dikesampingkan oleh sekolah sebagai institusi pendidikan yang menjangkau
perwujudan budaya literasi (baca-tulis) bagi siswa-siswanya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Nida dan Harris (Tarigan, 1981: 1) bahwa keterampilan berbahasa mencakup empat
komponen, yaitu keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan
berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills), serta
keterampilan menulis (writing skills). Keempat keterampilan berbahasa
tersebut saling berkaitan dan tidak dapat berdiri sendiri. Namun keempat
keterampilan berbahasa tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
komunikasi tatap muka serta komunikasi tidak tatap muka (Tarigan, 1981: 2).
Komunikasi tatap muka terdiri dari keterampilan menyimak yang bersifat
langsung, apresiatif, reseptif, dan fungsional serta keterampilan berbicara
yang bersifat langsung, produktif, dan ekspresif. Sementara itu, komunikasi
tidak tatap muka meliputi keterampilan membaca yang bersifat tidak langsung,
apresiatif, reseptif, dan fungsional serta keterampilan menulis yang bersifat
tidak langsung, produktif, dan ekspresif. Dari pengelompokan yang dikemukakan
oleh Tarigan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan berbicara sangat
erat kaitannya dengan kegiatan menyimak sedangkan kegiatan membaca sangat erat
kaitannya dengan kegiatan menulis.
Pada bagian
sebelumnya telah dinyatakan bahwa sekolah memiliki peran penting dalam
mewujudkan budaya literasi bagi siswa-siswanya. Pembelajaran membaca khususnya
pada siswa sekolah diupayakan sedemikian rupa dengan mengintegrasikannya dengan
keterampilan menulis. Namun tidak tertutup kemungkinan pengintegrasian
keterampilan membaca dengan kajian dari disiplin ilmu yang lain, misalnya
psikologi. Hal ini dikarenakan oleh adanya proses-proses mental di dalam otak
atau minda manusia yang terlibat ketika seseorang berbahasa (Dardjowijojo, 2003: 7). Oleh
karena itu, dalam ilmu bahasa interdisipliner dikenal psikolinguistik yang
merupakan integrasi dari dua disiplin ilmu , yaitu psikologi dan linguistik.
Keterampilan
membaca yang merupakan salah satu keterampilan berbahasa tentunya tidak dapat
terlepas dari peranan psikologi dalam upaya pemahaman terhadap bacaan. Hal ini
sejalan dengan uraian Baker dan Brown (Thierney, 1990: 302) mengenai kemampuan
pembaca yang dikaitkan dengan psikologi pengajaran bahasa. Mereka menguraikan
bahwa pembaca sebenarnya memiliki kemampuan metakognisi yang seringkali tidak
disadari atau diketahui oleh pembaca sendiri. Kemampuan metakognisi ini sangat
berperan dalam upaya untuk memahami materi bacaan.
Bahasa memiliki peranan yang sangat
penting dalam mempelajari berbagai bidang ilmu. Hal ini dikarenakan bahasa
berfungsi sebagai alat untuk mengkomunikasikan berbagai bidang ilmu tersebut
sehingga keterampilan berbahasa mutlak diperlukan. Tuntutan kebutuhan untuk
menguasai berbagai bidang ilmu ini tentunya harus disikapi secara arif. Dalam
bidang pengajaran, pengetahuan dan keterampilan berbahasa digunakan untuk
mempelajari materi pelajaran (content area material) baik bidang ilmu
sosial dan budaya seperti sejarah, ekonomi, geografi, bahasa dan sastra, maupun
bidang ilmu eksakta seperti fisika,
matematika, biologi, dan kimia. Keterampilan membaca dan menulis merupakan
keterampilan yang harus dikuasai oleh guru dan siswa untuk mempelajari berbagai
bidang ilmu tersebut.
A.
Pengertian
Metakognisi
Secara etimologis, Istilah
metakognisi yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan metacognition
berasal dari dua kata yang dirangkai yaitu meta dan kognisi (cognition).
Istilah meta berasal ari bahasa Yunani μετά yang dalam bahasa Inggris
diterjemahkan dengan after, beyond, with, adjacent), adalah suatu
prefik yang digunakan dalam bahasa Inggris untuk menjukkan pada suatu abstraksi
dari suatu konsep. (Wikipedia, Free Encyclopedia, dalam Kuntjojo, 2009), sedangkan
cognition, menurut Ensklopedia tersebut berasal dari bahasa Latin
yaitu cognoscere, yang berarti mengetahui (to know) dan
mengenal (to recognize). Kognisi, disebut juga gejala-gejala
pengenalan, merupakan “the act or process of knowing including
both awareness and judgement”. Merujuk pada kedua istilah tersebut,
matakognisi dapat diartikan secara sederhana sebagai the process beyong the
process of knowing atau proses didalam proses pengetahuan atau proses di dalam
proses mengethui sesuatu.
Secara historis, istilah metakognisi diperkenalkan oleh Flavel
yang diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengontrol bermacam-macam
aktivitas kognitif (Muisman, 2002: 24-26). Metakognisi terdiri dari pengetahuan
metakognitif (metacognitive knowledge)
dan pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experiences or
regulation). Pengetahuan metakognitif menunjuk pada diperolehnya
pengetahuan tentang proses-proses kognitif, pengetahuan yang dapat dipakai
untuk mengontrol proses kognitif. Sedangkan pengalaman metakognitif adalah
proses-proses yang dapat diterapkan untuk mengontrol aktivitas-aktivitas
kognitif dan mencapai tujuan-tujuan kognitif. Kemampuan ini dilakukan melalui
aksi-aksi diantara empat kelas fenomena, antara lain pengetahuan metakognisi,
pengalaman-pengalaman metakognisi, tujuan atau tugas, dan aksi atau strategi
(Kuntjojo, 2009: 1). Sementara itu, Livingstone (1997) mendefinisikan
metakognisi sebagai thinking about thinking atau berpikir tentang
berpikir. Metakognisi, menurutnya adalah kemampuan berpikir di mana yang
menjadi objek berpikirnya adalah proses berpikir yang terjadi pada diri
sendiri. Ada pula beberapa ahli yang mengartikan metakognisi sebagai thinking about thinking,, learning
to think, learning to study, learning how to learn, learnig to learn, learning
about learning (NSIN
Research Matters No. 13, 2001 lewat Kuntjojo, 2009: 1).
Pengetahuan metakognisi
merupakan pengetahuan yang diperoleh siswa tentang proses-proses kognitif yaitu
pengetahuan yang bisa digunakan untuk mengontrol proses-proses kognitif.
Pengalaman metakognisi melibatkan strategi atau pengaturan metakognisi.
Strategi metakognisi merupakan proses yang berurutan yang digunakan untuk
mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan kognitif telah
dicapai. Proses ini terdiri dari:
1) perencanaan
yang meliputi penentuan tujuan dan analisis tugas. Aktivitas perencanaan akan
mempermudah pengorganisasian dan pemahaman materi pelajaran,
2) pemantauan
yang meliputi perhatian seseorang ketika ia membaca dan membuat pertanyaan atau
pengujian diri. Aktivitas pemantauan akan membantu siswa dalam memahami materi
dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan awal, dan
3) evaluasi
atau pengaturan yang berupa perbaikan aktivitas kognitif siswa. Aktivitas ini
akan membantu peningkatan prestasi dengan cara mengawasi dan mengoreksi
perilakunya pada saat menyelesaikan tugas.
B. Metakognisi dalam Pemahaman Membaca
Baker
dan Brown (Tierney, dkk, 1980: 302) mengungkapkan hal yang sejalan dengan
pemanfaatan kemampuan metakognisi yang sebenarnya dimiliki oleh seorang
pembelajar. Mereka menyatakan bahwa pembaca efektif adalah individu yang
memiliki kemampuan metakognisi, antara lain:
1)
menjelaskan tujuan membaca dengan memahami pertanyaan
teks baik eksplisit maupun implisit,
2)
mengidentifikasi aspek yang penting dari pesan teks,
3)
memberikan fokus perhatian pada kandungan pokok teks,
4)
memonitor aktivitas secara terus menerus untuk
menetapkan ukuran kemampuan,
5)
melibatkan pertanyaan mandiri untuk menentukan apakah
tujuan telah tercapai, dan
6)
melakukan langkah atau tindakan korektif jika ada kegagalan yang ditemukan.
Pada
sumber lain, pernyataan tentang strategi metakognisi ini didukung oleh
Armbruster, Achols, and Brown (Vacca dan Jo Anne, 1989: 221) yang mengungkapkan
sebelum pembelajar dapat menggunakan strategi belajar yang efektif dia harus
sadar dan memperhatikan teks, tugas, dan diri sendiri, serta bagaimana dia akan
berinteraksi dalam belajar. Sementara itu, Brown, Caverly & Orlando, Jenkins, Nist (Caverly,
1997: 28) mengemukakan model tetrahedral dalam belajar yang meliputi materi,
diri, strategi, dan tugas.
Gambar 1. Model Tetrahedral Belajar (Caverly, 1997)
Dari bagan model tetrahedral di atas dapat diartikan
bahwa aktivitas belajar tidak dapat terlepas dari empat komponen, yaitu diri
pembelajar, materi belajar, strategi belajar, serta tugas. Diri pembelajar
adalah pembaca yang dipengaruhi oleh beberapa faktor ketika membaca bacaan
misalnya latar belakang pengetahuan, tingkah laku, minat, serta motivasi untuk
memahami bahan bacaan. Materi belajar merupakan bahan bacaan atau teks bacaan
yang memiliki struktur dan jenis yang berbeda-beda. Bahan bacaan dapat mempengaruhi pembaca dalam memahami bacaan.
Strategi belajar menyangkut perencanaan yang dilakukan sebelum membaca melalui
pemilihan dan penerapan cara dan teknik membaca untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Pengawasan (monitoring) sangat diperlukan dalam menerapkan
strategi belajar. Sementara itu tugas merupakan sarana untuk meningkatkan
kemampuan memahami bacaan (Caverly, 1997: 28-33).
Karakteristik pembelajaran yang mendayagunakan
kemampuan metakognisi pada umumnya belum terlihat pada proses pembelajaran di
sekolah. Guru dianggap sebagai pemberi ilmu dan siswa berada dalam keadaan
kosong sehingga siswa hanya menerima pengetahuan. Padahal, kemampuan yang ada
dalam diri siswa sangat beragam dan jika dimanfaatkan dengan baik dapat membuat
proses belajar lebih efektif, termasuk dalam membaca. Dalam Models of
Teaching (Joyce dan Marsha, 1996: 51) disebutkan bahwa dalam metakognisi
ada proses “letting the student in on the secret” sehingga siswa dapat
membangun sendiri pengetahuan dan kemampuan mereka, memutuskan strategi belajar
apa yang akan digunakan, pemecahan masalah, dan menemukan sendiri ilmu yang
akan dipelajari.
Metakognisi dalam membaca untuk studi diartikan
sebagai pengetahuan pembelajar tentang strategi dan kemampuan untuk memperluas
pengetahuan untuk memonitor proses membaca yang dilakukan (Vacca dan Jo Anne,
1989: 220). Siswa sebagai pembelajar yang mandiri senantiasa mengetahui
mengapa, bagaimana, dan kapan mereka menggunakan strategi membaca. Dalam diri
mereka tumbuh kesadaran untuk mendiri
dan menganalisis tujuan kegiatan membaca, mengidentifikasi apa yang sudah diketahui
dan yang belum diketahui, merencanakan proses membaca agar terlaksana dengan
baik, serta mengevaluasi hasil kegiatan membaca yang mereka lakukan.
Dalam sumber yang sama, Vacca dan Jo Anne (1989: 223)
mengemukakan ada empat dasar kerja metakognisi dalam memahami teks berbagai
bidang studi antara lain penilaian (assessment), kesadaran (awareness),
model dan demonstrasi (modelling and demonstration), serta penerapan (application).
Penilaian yang dilakukan akan membantu guru dalam mengetahui kemampuan
siswanya. Kesadaran lebih mengarah kepada siswa agar sadar mengapa dan
bagaimana strategi strategi belajar diterapkan. Sebagai tindak lanjut dari
upaya penyadaran siswa maka diperlukan modeling dan demonstrasi oleh
guru, penjelasan, praktik, serta penguatan prosedur, sedangkan penerapan lebih mengacu
pada praktik-praktik yang dilakukan.
Metakognisi terdiri dari tiga elemen dasar (North
Central Regional Educational Laboratory, 1995). Ketiga elemen tersebut
antara lain menyusun rencana, memonitor rencana, dan mengevaluasi rencana.
Dalam menyusun rencana, pembaca harus mengetahui apa yang akan dilakukan
pertama kali sebelum membaca teks, mengapa membaca teks tersebut, berapa waktu
yang akan digunakan untuk membaca, dan lain-lain. Pada kegiatan memonitor
rencana pembaca harus sadar bagaimana kegiatan membaca dilakukan dan dimana
posisi pemahaman membaca, apakah masih dalam level rendah, sedang, atau sudah
benar-benar paham. Kemudian apa yang akan dilakukan jika belum memahami bacaan.
Sementara itu, dalam mengevaluasi rencana pembaca harus sadar mengenai kegiatan membaca yang telah
dilakukan, apakah sudah baik atau belum, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu
yang telah dipelajari dalam bidang atau masalah lain. Ketiga elemen ini
merupakan kemampuan metakognisi yang membantu pembaca untuk mengetahui secara
pasti posisi pembaca dalam kegiatan membaca yang dilakukan sehingga dapat
digunakan sebagai upaya peningkatan pemahaman membaca.
C. Membaca Teks Berbagai Bidang Studi
Seluruh
disiplin ilmu dalam segala bidang kehidupan akan tercapai eksistensinya melalui
kegiatan membaca. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil sebab ilmu diperoleh
paling banyak melalui kegiatan membaca. Manfaat dari kegiatan membaca sendiri
ada pada penggunaannya. Keterampilan membaca harus dapat digunakan dalam
berbagai disiplin ilmu untuk mempelajari materi yang berada di dalamnya.
Membaca untuk belajar inilah yang sering disebut sebagai content area
reading (Vacca dan Jo Anne, 1989: 3). Hal senada juga dikemukakan oleh
Freeman (2000: 138) bahwa:
When students study academic subjects in nonactive language, they will
need a great deal of assistance in understanding subject matter texts;
therefore, there must be clear language objectives as well as content learning
objectives.
(ketika siswa mempelajari materi nonbahasa, mereka harus memahami materi
yang berupa teks; karena itu harus ada pemahaman bahasa sebagaimana memahami
materi yang dipelajari).
Morgan, dkk (Syamsi: 2006:
225) menguraikan ada sepuluh prinsip pemahaman membaca dalam berbagai bidang
studi. Kesepuluh prinsip itu antara lain:
1)
membaca dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman,
2)
seni berkomunikasi mengembangkan proses berpikir dan
belajar dalam berbagai bidang pelajaran,
3)
kegiatan literasi tidak hanya berupa seni berkomunikasi
tetapi juga visual literacy,
4)
membaca harus merupakan pengalaman yang berharga,
5)
praktik membaca kritik lebih memungkinkan berpikir dan
belajar dapat diukur,
6)
kegiatan membaca bermakna harus dimulai sejak dini dan
berlangsung seumur hidup,
7)
guru perlu menahan diri dari pengajaran yang semu
8)
semua siswa berhak mendapatkan pelajaran pada semua
mata pelajaran yang memungkinkan mereka untuk belajar,
9)
guru harus menggunakan berbagai perangkat yang
memungkinkan siswa menguasai mata pelajaran, serta
10) pembelajaran
membaca dalam berbagai mata pelajaran harus memungkinkan siswa menjadi
pembelajar yang mandiri.
Berbagai
pendekatan, metode, maupun teknik dalam membaca harus senantiasa diaplikasikan
dalam kegiatan belajar mengajar di berbagai bidang ilmu atau pelajaran. Hal ini
dapat menjadikan kegiatan belajar mengajar di kelas ataupun di luar kelas lebih
efektif dan sekaligus menyenangkan. Gina (1987: 55) mengemukakan tentang betapa
pentingnya mempelajari ilmu bahasa untuk diterapkan dalam upaya mempelajari
berbagai materi dalam segala bidang. Kemampuan dan strategi membaca diaplikasikan
dalam berbagai mata pelajaran untuk mempelajari materi pelajaran agar lebih
efektif.
Anderson,
dalam Becoming a Nation of Readers (Cox, 1999: 272), merekomendasikan
beberapa hal yang dapat digunakan untuk mengajarkan membaca, yakni sebagai berikut.
1)
Siswa diajak untuk memperoleh makna dari berbagai
teks mata pelajaran.
2)
Siswa diajak membaca keras.
3)
Aktivitas belajar memuat berbagai jenis pengalaman dan
pengetahuan serta menggunakannya secara bersama-sama.
4)
Siswa diberi kesempatan untuk memilih sendiri teks atau
buku yang akan dibaca
Dalam mempelajari teks dari berbagai bidang
studi, siswa dituntut untuk mengetahui makna teks bacaan agar dapat mengerjakan
tugas, menganalisis tugas, membuat perencanaan dalam membaca, serta menggunakan
strategi yang tepat dalam membaca. Hal ini dimaksudkan agar proses belajar
mengajar khususnya membaca dan mempelajari ilmu dari berbagai bidang studi
menjadi efektif dan siswa dapat melaksanakan proses pembelajaran mereka secara
mandiri (Vacca dan Jo Anne, 1989: 218). Ada empat faktor yang sangat
berpengaruh pada proses pembelajaran diantaranya karakteristik pembelajar atau
siswa, materi yang diajarkan, strategi belajar dan membaca, serta tugas. Hal
ini sejalan dengan bentuk tetrahedral yang dimukakan pada bagian sebelumnya.
Penutup
Membaca
merupakan suatu keterampilan berbahasa yang sangat penting sekali. Pembelajar
yang baik adalah pembelajar yang mengetahui dan sadar atas proses yang
dilakukan. Metakognisi dapat dipandang sebagai salah satu elemen yang penting sekali
dalam mencapai tingkat pemahaman membaca. Pengetahuan tentang metakognisi dapat
menuntun pembaca untuk mengetahui segala aspek yang dapat memperlancar proses
membaca, yaitu dari fase sebelum membaca sampai apa yang akan dilakukan sesudah
proses membaca selesai. Jadi, penting sekali untuk mempelajari dan mengetahui
proses-psoses metakognisi.
Studi tentang
pentingnya metakognisi sebagai salah satu elemen untuk mempermudah dan
memperlancar hendaknya senantiasa terus dikembangkan. Penelitian lebih lanjut
untuk mengimplementasikan pengetahuan metakognisi dalam kegiatan membaca dapat
memperkaya wawasan pembelajar sehingga analisis dan komparasi terhadap beberapa
studi metakognisi dapat diketahui.
Daftar Pustaka
Cantoni-Harvey, Gina. 1987. Content Area
Language Instruction: Approaches and Strategies. USA: Addison-Werley
Publishing Company.
Caverly, David. 1997. Teaching Reading in a Learning
Assistance Center University of Arizona, http://www.pvc.maricopa.edu/~lsche/proceeding/967-proc/967proc-caverly.htm.
Diakses pada 15 Agustus 2008.
Cox, Carole. 1999. Teaching Language Arts.
Boston: Allyn and Bacon.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolingusitik:
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Freeman, Diane
Larsen. 2000. Techniques and Principles in Language Teaching. New York: Oxford University Press.
Joyce,
Bruce dan Marsha Weil. 1996. Models of
Teaching. Mars: Allyn & Bacon.
Kuntjojo. 2009. “Metakognisi dan Keberhasian Belajar Peserta Didik” http://ebekunt.wordpress.com/2009/04/12/metakognisi-dan-keberhasilan-belajar-peserta-didik/. Diakses pada 14 Agustus 2009.
Muisman. 2002. “Metakognisi”, Bab II
Kajian Pustaka, 24-26. http://www.
demandiri.or.id/file/muisman. Diakses pada 10 Agustus 2009.
North Central
Regional Educational Laboratory. 1995. “Strategic
Teaching and Reading Project Guidebook”, http://www.info@ncrl.org . Diakses pada 10 Agustus 2009.
Syamsi, Kastam. 2006. “Resensi Buku Reading
to Learn in The Content Areas oleh Judy S. Richardson, Raymond E. Morgan, dan
Charlene Flener”, Diksi, edisi
Juli 2006. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Tarigan, Henry Guntur. 1981. Berbicara
sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tierney, R. J., J. E. Readence, dan E. K.
Dieshner. 1990. Reading Strategies and Practices: A Compendium III. Boston:
Allyn and Bacon.
Vacca, Richard T. dan Jo Anne L. Vacca.
1989. Content Area Reading. London: Scott, Foresman and Company.
Wikipedia, Free Encyclopedia. 2008.
“Metakognisi dan Keberhasilan Belajar Peserta Didik”. www.Encyclopedia.com. Diakses pada 10
Agustus 2009.
No comments:
Post a Comment