widgetku

Friday, May 17, 2013

Sastra Bandingan


                                    SASTRA BANDINGAN NUSANTARA

Sastra, sebagai bagian dari kebudayaan, ditentukan antara lain oleh geografi dan sumber daya alam. Berdasarkan kedua hal itulah kita menyususn masyarakat dan menentukan tata lain. Dalam karya sastra semua hal tersebut dicatat dan ditanggapi secara kreatif. Berbagai dongeng yang diciptakan nenek moyang kita, yang sampai kini masih ada sisanya dalam kenangan kita, perlu dibanding-bandingkan agar kita mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai persamaan dan perbedaan antara kita.
Dalam sebuah makalah, A. Ikram (1990) menawarkan studi perbandingan yang didasarkan pada sastra-sastra yang berkembang di Nusantara. Ia membuat pengelompokkan masalah berdasarkan konsep-konsep yang telah ditawarkan oleh Clement (1978), yaitu: (a) genre dan bentuk, (b) periode, aliran, dan pengaruh, serta (c) tema dan mitos.
Beberapa genre yang berkembang di Indonesia bisa kita jumpai di mana-mana. Namun, terutama karena adanya berbagai jenis pengaruh, tradisi sastra kita memiliki kekayaan genre yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa. Seperti: genre wiracarita dalam bentuk syair, kidung, kakawin, hikayat, berbagai jenis teater rakyat, dan pelipur lara.
Sastra bandingan menggarisbawahi pentingnya penggunaan bahasa asli, karenanya seorang yang melalakukan studi perbandingan antara kakaawin dan hikayat harus menguasai dua bahasa sebaik-baiknya. Kakawin ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, sedangkan hikayat dalam bahasa Melayu. Ini bisa dipermudah dengan menggunakan terjemahan, tetapi harus diingat bahwa hanya terjemahan yang teliti dan setia kepada aslinyalah yang bisa dipergunakan sebagai bahan bandingan.
Menurut Ikram (1990: 8), genre yang juga digemari di Indonesia adalah sastra didaktik. Ia mengatakan bahwa sifat didaktik ini memang sulit dihindari dalam sastra tradisional karena oleh masyarakat masih dianggap sebagai intipati segala sastra dan kita temukan dalam berbagai bentuk. Syair, hikayat, cerita berbingkai, kidung, sastra tanya-jawab, cerita binatang; semua digunakan sebagai wahana untuk membawa nasihat. Bentuk untuk menyampaikan sastra didaktik tentu tidak harus menggunakan binatang sebagai tokohnya dan juga tidak harus berupa prosa. Salah satu karya sastra didaktik penting yang ditulis dalam bahasa Melayu adalah Gurindan 12 karya Raja Ali Haji.
Sastra sejarah juga merupakan genre yang ada di mana-mana. Kebudayaan Melayu telah menghasilkan Sejarah Melayu, kitab yang diaanggap begitu penting oleh sementara orang Melayu sehingga dianggap sebagai catatan sejarah yang otentik dan karenanya sering dilupakan sisi fiksinya. Kebudayaan Jawa telah menghasilkan juga sejumlah besar babad  yang oleh sementara orang Jawa juga dianggap sebagai sejarah. Sastra sejarah dihasilkan oleh semua masyarakat yang pernah memiliki kerajaan sebab salah satu fungsinya adalah untuk mencatat apa yang telah dilakukan suatu dinasti dalam menciptakan kerajaan yang dipimpinnya.
Genre lain yang selalu ada dalam semua kebudayaan adalah mantra, yang di Indonesia dimiliki oleh semua suku bangsa. Mantra adalah genre tradisi lisan yang bisa dipergunakan sebagai wahana untuk mencapai berbagai jenis maksud dan tujuan. Setiap masyarakat menciptakan mantra untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam sastra bandingan, mantra merupakan sumber penelitian yang sangat subur sebab genre itu kedapatan di manapun dan kapanpun, tidak hanya di Indonesia dan tidak hanya dalam tradisi lisan.
Bentuk lain yang juga menarik untuk dibandingkan adalah pantun. Di Jawa, pantun disebut parikan. Kalau di kebudayaan Melayu, pantun bisa dipergunakan sebagai bentuk sastra yang “resmi” dalam berbagai kegiatan sosial. Di Jawa, parikan umumnya dikenal sebagai bentuk untuk menyampaikan hal-hal yang lebih cenderung ke hiburan dan bukan dakwah. Dalam tradisi pantun Melayu, kita mengenal pantun agama, pantun adat, pantun orang tua yang khusus dipergunakan sebagai saran untuk mendidik masyarakat. Parikan di Jawa antara lain dipergunakan dalam teater tradisional, seperti ludruk, umumnya mengandung ungkapan ringan yang berfungsi sebagai hiburan.
Penelitian mengenai genre bisa bertumpang tindih dengan penelitian mengenai pengaruh yang dalam artinya yang luas mencakup juga perubahan bentuk, saduran, dan terjemahan. Ikram menunjukkan bahwa cerita Amir Hamzah dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab telah mengalami perubahan bentuk yang sangat jauh dalam sastra-satra Bugis, Sasak, Melayu, dan Jawa.
Studi mengenai tema dan mitos bisa erat sekali katannya. Contoh penting yang harus disebut adalah kisah yang berdasarkan konsep Kompleks Oedipus. Kisah yang mengungkapkan hubungan asmara antara ibu dan anak itu mencul dalam banyak kebudayaan, di Indonesia kita bisa menemuinya dalam kisah Sangkuriang di Sunda dan kisah Prabu Watugunung di Jawa. Kesusastraan kita telah mengolahnya menjadi suatu hasil budaya yang sama sekali berbeda dengan yang didapati di dalam kesusastraan Yunani.


Hakikat Anak Didik


HAKIKAT ANAK DIDIK

A.           Hakikat anak didik sebagai manusia
Sebelum  mempelajari secara khusus mengenai anak didik dalam kaitannya sebagai siswa, perlu kiranya melihat anak didik itu sebagai manusia dengan kata lain manusia adalah kunci utama dalam kegiatan pendidikan. Dalam hal ini, ada beberapa pandangan mengenai hakikat manusia.
1.      Pandangan Psikoanalitik
2.      Pandangan humanistik
3.      Pandangan martin buber
4.      Pandangan behavioristik

1.      Pandangan psikoanalitik
Para psikoanalitis beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif . Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang memang sejak semula sudah ada pada diri setiap individu.

2.      Pandangan humanistik
Rogers, tokoh dari pandangan humanistik, berpendapat bahwa manusia memiliki dorongan untuk mengarahkan dirinya ketujuan yang positif.
Adler juga mendukung pandangan humanistik tersebut, ia berpendapat bahwa manusia tidak semata-mata digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan kebutuhan dirinya sendiri, tetapi manusia digerkakkan dalam hidupnya sebagian oleh rasa tanggung jawab dan sebagian lagi oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu.

3.       Pandangan Martin Buber
Tohoh martin buber berpendapat bahwa hakikat manusia tidak dapat dikatakan ini atau itu. Manusia merupakan suatu keberadaan yang berpotensi, namun dihadapkan pada kesemestaan alam sehingga manusia itu terbatas. Ini berarti bahwa apa yang dilakukan tidak dpat diramalkan.

4.      Pandangan Behavioristik
Pandangan dari kaum behavioristik pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang datang dari luar. Faktor lingkungan inilah yang merupakan penentu tunggal dari tingkah laku manusia.

B.            Anak didik sebagai subjek belajar
Siswa atau anak didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar, sebab relefan dengan uraian diatas bahwa siswa atau anak didiklah yang menjadi pokok persoalan dan sebagai tumpuan perhatian. Siswa atau anak didik itu akan menjadi faktor “ penentu”, sehingga menuntut dan dapat menpengaruhi segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya. Dengan demikian, tidak tepat jika dikatakan bahwa siswa atau anak didik itu sebagai objek dalam proses belajar mengajar. Pandangan yang menganggap siswa itu sebagai objek, sebenarnya mendapat pengaruh oleh konsep tabularasa bahwa anak didik diibaratkan sebagai kertas putih yang dapat ditulis sekehendak hati oleh para guru atau pengajarnya. Dalam konsep ini berarti siswa hanya pasif seolah-olah barang, terserah mau diapakan, mau dibawa kemana, terserah kepada yang akan membawanya atau gurunya. Sebaliknya guru akan sangat dominan, ibarat raja di dalam kelas.

C.            Kebutuhan Siswa
Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi kebutuhan siswa, antara lain:
1.      Kebutuhan jasmani
2.      Kebutuhan sosial
3.      Kebutuhan intelektual

1.       Kebutuhan Jasmani
Hal ini berkaitan dengan tuntutan siswa yang bersifat jasmaniah, entah yang menyangkut kesehatan jasmani berupa olahraga yang menjadi materi utama. Disamping itu kebutuhan-kebutuhan lain seperti makan, minum, tidur, pakaian, dan sebagainya yang perlu mendapat perhatian.

2.      Kebutuhan Sosial
Pemenuhan saling bergaul sesama siswa dan guru serta orang lain merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial anak didik atau siswa. Dalam hal ini sekolah harus dipandang sebagai lembaga tempat para siswa belajar, bergaul, dan beradaptasi dengan lingkungan, seperti misalnya bergaul sesama teman yang berbeda jenis kelamin, suku bangsa, agama, status sosial, dan kecakapan.

3.      Kebutuhan Intelektual
Setiap siswa tidak sama dengan dalam hal ini untuk mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan. Mungkin ada yang lebih berminat belajar ekonomi, sejarah, biologi, atau yang lain. Minat semacam ini tidak dapat dipaksakan kalau ingin mencapai hasil belajar yang optimal.
Robert J. Havigurst dalam bukunya “Human Development Education”, mengemukakan suatu cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak didik. Menurut tokoh ini bahwa setiap orang harus dapat memenuhi tugas. Tugas tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Pemenuhan tugas-tugas tertentu itulah disebutnya dengan  istilah Developmental tasked. Kesanggupan memenuhi tugas-tugas itu berarti akan memberi kepuasan dan kebahagiaan. Inilah yang dikatakan seseorang dapat memenuhi kebutuhannya. Berikut ini adalah beberapa develomental tasked yang harus dipenuhi oleh setiap individu manusia subjek belajar.
1.      Memahami dan menerima baik keadaan jasmani.
2.      Memperoleh hubungan yang memuaskan dengan teman-teman sebayanya.
3.      Mencapai hubungan yang lebih matang dengan orang dewasa.
4.      Mencapai kematangan emosional.
5.      Menuju kepada keadaan berdiri sendiri dalam lapangan finansial.
6.      Mencapai kematangan intelektual.
7.      Membentuk pandangan hidup.
8.      Memperisapkan diri untuk mendirikan rumah tangga sendiri.

D.           Pengembangan individu dan karakteristik siswa
Sudah populer di indonesia bahwa tujuan pendidikan nasional pada khususnya dan pembangunan pada umumnya adalah ingin menciptakan “manusia seutuhnya”. Yang dikatakan manusia utuh itu adlah individu-individu manusia, bukan kelompok sehingga manusia seutuhnya itu adalah persona atau individu yang mampu menjangkau segenap hubungan dengan Tuhan, dengan lingkungan, dengan manusia lain dalam suatu kehidupan manusia dan dengan dirinya sendiri.
Karakteristik siswa adalah keseluruhan kelakuan dan kemampuan yang ada pada siswa sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan sosialnya sehingga menentukan pola aktivitas dalam meraih cita-citanya. Berikut ini adalah beberapa karakterisitik siswa yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar siswa antara lain:
1.    Latar belakang pengetahuan dan taraf pengetahuan
2.    Gaya belajar
3.    Tingkat kematangan
4.    Motivasi dan lain-lain.
Disamping keterangan di atas, guru dalam peranannya sebagai pendidik, pembimbing dan pengganti orang tua di sekolah, perlu mengetahui data-data pribadi dari anak didiknya. Data-data pribadi itu, misalnya:
1.    Keterangan pribadi, seperti: nama, tanggal dan tempat lahir, alamat, jenis kelamin, nama orang tua, agama.
2.    Keadaan rumah, seperti: pekerjaan ibu dan bapak, jumlah adik, pendidikan orang tua, agama orang tua, suasana rumah, status rumah.
3.    Kesehatan, seperti penyakit-penyakit tertentu, cacat badan, kebiasaan hidup.
4.    Sifat-sifat pribadi.

Sumber:
     Sadirman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:
               Rajagfarindo Persada.

Pragmatik: Presuposisi dan Entailmen


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
         Makna sebuah tuturan tidak hanya dapat ditentukan dengan faktor-faktor lingual yang membentuk tuturan itu, tetapi juga dapat ditentukan dengan faktor-faktor nonlingual. Penentuan makna sebuah tuturan berdasarkan faktor lingual dapat dikaji dari bentuk-bentuk lingual yang membentuknya. Namun, penentuan makna sebuah tuturan berdasarkan faktor nonlingual biasa sangat bervariasi tergantung pada situasi tutur yang melandasinya.
         Pragmatik merupakan salah satu objeknya, pragmatik mengkaji maksud dari penutur (speaker meaning). Pragmatik menelaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir atau dengan kata lain pragmatik merupakan studi tentang hubungan antara tanda dan penafsirnya. Charles Morris (dalam Mey, 1993: 35) menjelaskan bahwa pragmatik dan semantik berurusan dengan makna, tetapi perbedaannya terletak pada perbedaan penggunaan verb to mean. Lazimnya semantik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic), what does X mean?, sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic), what did you mean by X ?
         Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa, sedangkan dalam semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan mitra tuturnya. Lebih lanjut Leech (1993 : 8) mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situation).
         Banyak ahli seperti Levinson (1983 : 9) dan Bambang Kaswanti Purwo (1990 : 17) mengatakan bahwa lingkup objek kajian pragmatik mencakup deiksis, presuposisi, tindak tutur, implikatur percakapan, dan struktur percakapan. Makalah ini tidak akan membicarakan lingkup pragmatik secara keseluruhan tetapi pada presuposisi atau praanggapan dan entailmen.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan presuposisi?
2.      Apa saja tipe-tipe presuposisi?
3.      Apa yang dimaksud persoalan proyeksi?
4.      Apa yang dimaksud dengan entailmen?

1.3  Tujuan Penulisan
           Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan presuposisi.
2.      Untuk mengetahui tipe-tipe presuposisi.
3.      Untuk mengetahui tentang persoalan proyeksi.
4.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud entailmen.

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Menambah pengetahuan kita tentang  presuposisi
2.      Kita menjadi tahu apa saja tipe-tipe prsuposisi.
3.      Kita menjadi tahu tentang persoalan proyeksi.
4.      Kita menjadi tahu tentang entailmen.




                                                            BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Presuposisi
Presuposisi atau sering juga disebut praanggapan. Sebuah tuturan dapat dikatakan mempresuposisikan atau mempraanggapkan tuturan lainnya, apabila ketidakbenaran tuturan yang dipraanggapkan itu mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan tidak dapat dikatakan sama sekali.
Contoh : Mahasiswi terpandai dikelas itu cantik sekali.
Contoh di atas mempraanggapkan atau mempresuposisikan adanya seorang mahasiswi yang benar-benar pandai  di kelas tertantu. Apabila pada kenyataannya memang ada mahasiswi yang sangat pandai di kelas itu maka tuturan di atas dapat dinilai benar atau salahnya. Sebaliknya, apabila di kelas itu tidak ada sama sekali mahasiswi yang sangat pandai, tuturan tersebut tidak dapat ditentukan benar atau salahnya sama sekali.
Perhatikan pula contoh berikut:
Novel Habibie dan Ainun sangat laris di toko-toko buku di seluruh Indonesia.
Kalimat di atas mempresuposisikan bahwa memang ada novel yang berjudul itu di toko-toko buku diseluruh Indonesia. Jika memang demikian adanya maka kebenaran preposisi yang dipraanggapkan atau dipresuposisikan tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Sebaliknya jika tidak ada novel tersebut kebenaran presuposisi yang dipraanggapkan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Contoh lain dari presuposisi atau praanggapan juga terlihat dari contoh di bawah ini:
            Kalau kamu sudah sampai Banjarmasin, tolong aku diberi kabar. Jangan sampai lupa! Aku tidak bukan hari libur.
 Contoh di atas tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu sang mitra tutur bahwa dia harus melakukan sesuatu yang dimaksudkan dalam tuturan tersebut, melainkan lebih dari itu, terdapat suatu hal yang tersirat dan harus dilakukan. Misalnya saja,  tindakan mencari nomor telepon dari si penutur.
2.2  Tipe-Tipe Presuposisi
Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur (Yule, 2006:46). Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan,  yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.
  1. Presuposisi Esistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.
·         Orang itu berjalan.
Ada orang berjalan.
 2.   Presuposisi Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
1.      Dia tidak menyadari bahwa ia sakit.
Dia sakit.

2.      Kami menyesal mengatakan kepadanya.
Kami mengatakan kepadanya.

3.   Presuposisi Leksikal
Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.
1.      Dia berhenti merokok.
Dulu dia biasa merokok.

2.      Mereka mulai mengeluh.
Sebelumnya mereka tidak mengeluh.
4.    Presuposisi Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.
1.      Saya membayangkan bahwa saya kaya.
Saya tidak kaya.

2.      Saya membayangkan berada di Hawai.
Saya tidak berada di Hawai.
5.   Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.
1.      Di mana Anda membeli sepeda itu?
Anda membeli sepeda.


2.      Kapan dia pergi?
Dia pergi.
6.    Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.
·         Seandainya
·         Andaikan

2.3  Persoalan Proyeksi
Makna beberapa presuposisi (sebagai bagian-bagian) tidak dapat bertahan terus menjadi makna beberapa kalimat kompleks (secara keseluruhan) disebut persoalan proyeksi. Contohnya:
a.      Tak seorang pun sadar Lili lapar. (= p)
b.      Lili lapar. (= q)
c.       p>>q (pada poin ini, penutur yang mengujarkan [a] mempresuposisikan [b].
d.      Saya membayangkan bahwa Lili lapar. (= r)
e.       Lili tidak lapar. (bukan q)
f.       r>>bukan q
(pada poin ini, penutur yang mengujarkan [d] mempresuposisikan [e], kebalikan dari [b].
g.      Saya membayangkan bahwa Lili lapar dan tak seorang pun menyadari bahwa dia lapar. (= r&p)
h.      r&p>>bukan q
(pada poin ini, setelah penggabungan r&p, presuposisi q tidak lagi dianggap benar).

2.4 Entailmen
Entailmen dalam hubungan antara tuturan dengan maksudnya bersifat mutlak atau menjadi keharusan. Tuturan yang berbunyi Eli hamil muda, mengindikasikan bahwa wanita yang bernama Eli sudah pernah berhubungan sebadan dengan seorang pria tertentu sehingga dia sekarang dalam keadaan hamil muda. Tuturan yang berbunyi ian anak desa yang sangat rajin itu menjadi dokter, menunjukkan bahwa anak yang berasal dari desa itu pernah mengenyam pendidikan di universitas tertentu pada sebuah Fakultas Kedokteran. Dengan demikian, jelas bahwa hubungan antara tuturan dan maksud tuturan pada entailment bersifat mutlak dan harus ada. Jadi tuturan seperti si Emilia seorang janda kembang di desaku, menunjukkan dengan sesungguhnya, dan dengan tidak dapat disangka-sangka lagi, sosok wanita yang bernama Emilia sudah pernah menjadi seorang istri, karena sekarang berstatus janda, dan karena sebab yang sangat tertentu status keistriaannya itu hilang dan yang melekat pada dirinya sekarang adalah status kejandaan. Kenyataan seperti itulah yang didalam ilmu bahasa pragmatik disebut dengan entailment, atau banyak orang sering menerjemahkannya secara kasar dan cenderung kurang tepat sebagai sosok ikutan.










BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
·         Sebuah tuturan dapat dikatakan mempresuposisikan atau mempra-anggapkan tuturan lainnya, apabila ketidakbenaran tuturan yang dipraanggapkan itu mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tutu-ran tidak dapat dikatakan sama sekali.
·         Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis pra-anggapan,  yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.
·         Makna beberapa presuposisi (sebagai bagian-bagian) tidak dapat bertahan terus menjadi makna beberapa kalimat kompleks (secara keseluruhan) disebut persoalan proyeksi
·         Entailment dalam hubungan antara tuturan dengan maksudnya bersifat mutlak atau menjadi keharusan.
3.2 Saran
Kepada para pembaca disarankan agar lebih banyak membaca buku yang berkaitan dengan presuposisi dan entailmen agar lebih memahami tentang pragmatik.









DAFTAR PUSTAKA
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Penerbit Dioma.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi.  2010. Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis.  Surakarta: Yuma Pustaka.
Yule, George. 1998. Pragmatik. Terjemahan Jumadi. 2006. Banjarmasin: PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
Yule, George. 1996.Pragmatik. Terjemahan Indah Fajar Wahyuni. 2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

m
o
c
.
r
u
u
N
n
A
h
a
i
r
e
p
a
S
.
w
w
w